
batampos – Pemerintah Kota (Pemko) Batam mengalokasikan anggaran sebesar Rp7,8 miliar untuk program subsidi silang iuran bulanan bagi siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri. Program ini diinisiasi Dinas Pendidikan (Disdik) Batam sebagai respons atas membludaknya pendaftar sekolah negeri setiap tahun ajaran baru.
Dalam skema ini, calon siswa yang tidak lolos seleksi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) akan disarankan untuk bersekolah di institusi swasta, dengan dukungan subsidi dari pemerintah. Bantuan akan diberikan selama enam bulan untuk jenjang SD sebesar Rp300 ribu per bulan, dan Rp400 ribu untuk jenjang SMP.
Kepala Disdik Batam, Tri Wahyu Rubianto, menjelaskan program ini menyasar siswa dari keluarga tidak mampu, khususnya mereka yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atau penerima bantuan pemerintah lainnya. “Nanti akan dibuktikan dengan kartu sebagai penerima bantuan,” tambahnya, Senin (9/6).
Rencananya, subsidi akan diberikan kepada 2.440 siswa SD dan 1.430 siswa SMP yang tidak lolos seleksi masuk sekolah negeri. Skema ini kini menanti pembahasan bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepri sebelum dituangkan dalam Peraturan Wali Kota (Perwako).
Meski terdengar solutif, kebijakan ini menyimpan potensi ketimpangan baru dalam dunia pendidikan Batam. Beberapa warga menilai bahwa seleksi berbasis data kesejahteraan pemerintah sering kali tidak mencerminkan realitas di lapangan. Banyak keluarga rentan belum terdaftar dalam DTKS karena masalah pendataan.
“Bisa saja siswa dari keluarga yang benar-benar tidak mampu tak kebagian bantuan karena tak masuk dalam sistem, padahal mereka layak,” kata Wineke, salah satu orangtua siswa yang berharap anaknya lolos ke sekolah negeri.
Ia menyambut baik kebijakan subsidi, namun mengkhawatirkan potensi kecemburuan sosial. Keraguan ini bukan tanpa dasar. Selama ini program bantuan pemerintah seringkali tidak tepat sasaran.
Di sejumlah wilayah, keluarga dengan ekonomi menengah justru tercatat sebagai penerima. Sementara keluarga miskin tidak terdata karena tak punya akses informasi atau administrasi.
Tri Wahyu sendiri mengakui penyaluran subsidi akan sangat bergantung pada validitas data sosial penerima. Ia berharap proses verifikasi berjalan ketat agar bantuan tidak salah sasaran.
“Kami akan koordinasi dengan instansi terkait agar data yang digunakan akurat,” katanya.
Namun, persoalan tak berhenti pada akurasi data. Pemerintah juga dinilai belum cukup transparan soal mekanisme seleksi sekolah swasta penerima siswa bersubsidi. Tidak semua sekolah swasta memiliki kualitas atau daya tampung yang setara, yang bisa berdampak pada mutu pendidikan siswa dari golongan rentan.
Kekhawatiran lain datang dari ketimpangan perlakuan. Jika pemerintah hanya memberikan subsidi selama enam bulan, bagaimana nasib siswa tersebut pada semester berikutnya? Tanpa kejelasan kelanjutan bantuan, banyak orangtua bisa kembali terjebak dalam kesulitan biaya, terutama di sekolah swasta yang menerapkan iuran tinggi.
Di sisi lain, program ini dikhawatirkan menjadi solusi instan yang tidak menyentuh akar persoalan: keterbatasan daya tampung sekolah negeri. Kebijakan subsidi justru bisa memperkuat kesan pemerintah “menyerahkan” tanggung jawab kepada sekolah swasta alih-alih membangun fasilitas pendidikan baru.
Dalam jangka panjang, Batam perlu memikirkan strategi yang lebih berkelanjutan. Pembangunan unit sekolah baru, distribusi guru yang merata, serta pembenahan zonasi dan data sosial perlu menjadi prioritas, bukan hanya subsidi sesaat yang bergantung pada anggaran tahunan.
Ketua DPRD Batam, Muhammad Kamaluddin, pernah menyoroti hal ini sebagai krisis layanan dasar yang perlu intervensi pemerintah pusat. Ia menyebut bukan hanya guru, tetapi juga tenaga medis masih kurang di sejumlah wilayah, terutama di hinterland Batam.
“Kalau untuk di wilayah kita yang masih kekurangan itu ada guru dan tenaga medis. Namun ada pembatasan dalam perekrutan. Maka nanti kami akan mengajukan permohonan melalui Mendagri agar ada kebijakan penambahan kuota, karena pelaksanaan layanan pendidikan dan kesehatan itu sangat dibutuhkan, khususnya di wilayah hinterland,” katanya.
Ia mengatakan, DPRD akan berkoordinasi dengan Wali Kota Batam untuk mengajukan penambahan kuota pengangkatan guru sebagai kebutuhan mendesak. Selain itu, dia juga menyoroti beban kerja guru yang dinilai sudah melampaui batas ideal.
“Strategi optimalisasi jumlah rombel itu adalah solusi pertama. Tapi informasi yang kami dapat, kasihan juga guru-guru sampai ada yang tiga shift mengajarnya. Jadi, kan, kasihan mereka. Takutnya tidak efektif mengajar,” kata Kamal.
Dari informasi yang ia dapat, ada salah satu SMP di Batam yang terpaksa menjalankan tiga shift karena kelebihan jumlah murid. “Kalau tiga shift kayaknya sudah enggak normal, lah. Harusnya maksimal itu dua shift saja,” tambahnya.
Kamal menyebut, persoalan ini disebabkan oleh dua hal utama: kurangnya Ruang Kelas Baru (RKB) dan minimnya jumlah guru. Ia pun berharap Pemko Batam dan pemerintah pusat segera memberikan solusi konkret agar kualitas pendidikan tetap terjaga di tengah pertumbuhan penduduk yang terus meningkat.
Selain itu, perlu pengawasan ketat terhadap pelaksanaan subsidi agar tidak menjadi ladang baru bagi praktik penyalahgunaan anggaran atau “subsidi titipan” yang tidak berpihak pada kelompok paling rentan.
Program subsidi SPP ini memang patut diapresiasi sebagai bentuk empati terhadap siswa yang tidak tertampung. Meski begitu, tanpa pengawasan, transparansi, dan perencanaan jangka panjang, kebijakan ini berisiko memperlebar jurang ketimpangan dan menambah persoalan dalam sistem pendidikan Batam.
Pendidikan seharusnya menjadi ruang keadilan dan pemberdayaan, bukan medan uji coba kebijakan tambal sulam. Pemerintah punya tanggung jawab memastikan setiap anak, apapun latar sosialnya, mendapatkan akses pendidikan yang layak—bukan sekadar kursi yang tersisa. (*)
Reporter: Arjuna
Artikel Subsidi Silang Biaya Pendidikan Berpotensi Tidak Tepat Sasaran pertama kali tampil pada Metropolis.
Artikel Subsidi Silang Biaya Pendidikan Berpotensi Tidak Tepat Sasaran pertama kali tayang di batampos.co.id.