
batampos – Pengadilan Negeri (PN) Batam menggelar sidang perdana perkara peredaran obat keras ilegal dengan terdakwa Moh Hasbi, Senin (21/7). Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Tiwik, serta dua hakim anggota Verdian Martin dan Andi Bayu Mandala Putra, mengagendakan pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Aditya Otavian.
Dalam dakwaannya, jaksa mengungkap bahwa Hasbi, seorang karyawan Apotek Nasifa Farma, diduga secara sadar memesan dan mengedarkan tablet LL yang mengandung zat aktif Trihexyphenidyl. Obat tersebut merupakan obat keras yang telah dilarang peredarannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sejak 2013 karena kerap disalahgunakan untuk efek halusinasi.
“Perbuatan terdakwa jelas memenuhi unsur mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar keamanan, khasiat, dan mutu. Ini bukan sekadar kelalaian, tapi tindakan sadar untuk mencari keuntungan,” kata jaksa Aditya dalam persidangan.
Tablet LL diketahui masuk dalam kategori Obat-obatan Tertentu (OOT) yang penggunaannya sangat terbatas. Dalam praktiknya, tablet tersebut sering dijual bebas dan disalahgunakan, terutama oleh kalangan remaja.
Jaksa menyebut pelanggaran ini terungkap dari hasil inspeksi Balai POM Batam pada 3 Juni 2024. Inspeksi dilakukan setelah ditemukan adanya pengiriman obat Tugesal dan Dolgesik-50 dari Pedagang Besar Farmasi (PBF) ke Apotek Nasifa Farma pada April hingga Mei 2024. Namun saat diperiksa, baik stok fisik maupun dokumen pembelian tidak ditemukan.
“Apoteker penanggung jawab bahkan membantah pernah memesan obat-obatan tersebut. Ini menandakan ada celah yang dimanfaatkan terdakwa untuk melakukan transaksi secara pribadi,” kata jaksa.
Meski telah dikenakan sanksi administratif oleh Balai POM, Hasbi tetap melanjutkan aksinya. Pada Agustus 2024, ia memesan 1.000 butir tablet LL secara daring dan menjualnya seharga Rp1.200 per butir. Tidak berhenti di situ, pada Januari 2025 ia kembali memesan 2.000 butir obat serupa.
“Jelas ini pola bisnis ilegal yang dijalankan secara sistematis, di luar pengetahuan apoteker dan tanpa jalur distribusi resmi,” kata Aditya.
Penangkapan Hasbi dilakukan pada 10 Januari 2025. Petugas Balai POM mengamankan dua botol masing-masing berisi 1.000 tablet LL dari sebuah paket pengiriman. Selain itu, ponsel milik terdakwa yang digunakan untuk komunikasi dengan pemasok juga turut disita sebagai barang bukti.
Dalam ponsel tersebut, penyidik menemukan isi percakapan WhatsApp antara Hasbi dan pemasok obat.
“Percakapan itu menjadi bukti kuat bahwa transaksi dilakukan secara diam-diam, tanpa prosedur resmi dan di luar pengawasan farmasi,” ujar jaksa.
Baca Juga: Pasangan Kekasih Diadili Terkait Penyelundupan Sabu 1,1 Kg di Bandara Hang Nadim
Hasil uji laboratorium BPOM Batam memastikan bahwa tablet LL mengandung zat Trihexyphenidyl yang telah dilarang beredar lebih dari satu dekade lalu. Menurut jaksa, peredaran obat keras tanpa izin seperti ini sangat berbahaya dan bisa merusak masa depan generasi muda.
Dalam sidang yang berlangsung terbuka untuk umum tersebut, penasihat hukum terdakwa mengajukan permohonan perubahan status penahanan dari tahanan rumah menjadi tahanan kota. Namun permintaan itu belum dikabulkan majelis hakim.
“Surat permohonan baru masuk ke PTSP. Majelis akan mempertimbangkannya lebih lanjut,” ujar hakim ketua Tiwik.
Atas perbuatannya, terdakwa Hasbi didakwa melanggar Pasal 435 juncto Pasal 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan serta Pasal 53 ayat (1) KUHP tentang percobaan tindak pidana. Ia terancam hukuman maksimal 10 tahun penjara.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi dari Balai POM Batam. (*)
Reporter: Azis Maulana
Artikel Sidang Kasus Penjualan Obat Keras Ilegal, Karyawan Apotek Didakwa Edarkan Tablet yang Timbulkan Efek Halusinasi pertama kali tampil pada Metropolis.
Artikel Sidang Kasus Penjualan Obat Keras Ilegal, Karyawan Apotek Didakwa Edarkan Tablet yang Timbulkan Efek Halusinasi pertama kali tayang di batampos.co.id.